Adab Berpakaian (Bag. 5)
Baca pembahasan sebelumnya: Adab Berpakaian (Bag. 4)
Jangan Tiru Mereka
Di antara kaedah penting dalam agama kita adalah kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan tidak diperbolehkan untuk menyerupai orang kafir baik dalam masalah ibadah, hari raya maupun pakaian yang menjadi ciri khas mereka. Ini merupakan kaidah penting dalam agama kita yang sudah tidak diindahkan oleh banyak kaum muslimin. Patut diketahui bahwa dalil-dalil yang menunjukkan benarnya kaidah di atas adalah banyak sekali baik dari ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi. Berikut ini adalah di antara ayat al-Qur’an yang menunjukkan adanya kaidah di atas.
Allah berfirman yang artinya, “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiah [45]: 18)
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dalam ayat di atas Allah menceritakan bahwa Dia telah memberikan kenikmatan dunia dan agama untuk Bani Israil, mereka berselisih setelah kebenaran datang kepada mereka karena rasa dengki yang ada di antara mereka. Kemudian Allah jadikan Muhammad berada di atas syariat dan Dia perintahkan agar diikuti. Selanjutnya Allah melarangnya untuk mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak tahu. Termasuk ‘orang-orang yang tidak tahu’ adalah semua orang yang menyelisihi syariat beliau. Sedangkan yang dimaksud hawa nafsu mereka adalah semua hal yang mereka inginkan termasuk di antaranya adalah perilaku lahiriah dari orang-orang musyrik yang merupakan konsekuensi dan turunan dari agama mereka yang batil. Itu semua merupakan bagian dari apa yang mereka inginkan.
Mencocoki mereka dalam perilaku lahiriah berarti mengikuti keinginan mereka. Oleh karenanya orang-orang kafir gembira dan bersuka cita ketika kaum muslimin mengikuti sebagian perilaku mereka. Bahkan mereka rela mengeluarkan harta dalam jumlah besar agar peniruan itu terjadi.
Andai meniru perilaku lahiriah orang kafir tidak termasuk mengikuti hawa nafsu orang kafir maka tidak disangsikan lagi bahwa menyelisihi orang kafir dalam perilaku lahiriah itu lebih memupus kemungkinan terjerumus dalam sikap mengikuti hawa nafsu mereka dan lebih membantu agar mendapatkan ridho Allah dengan tidak mengikuti hawa nafsu orang kafir. Sesungguhnya meniru orang kafir dalam perilaku lahiriah itu bisa jadi sarana untuk mengikuti orang kafir dalam hal-hal yang lain. Karena siapa yang berani dekat-dekat dengan daerah larangan maka dia akan terjerumus di dalamnya. Dua penjelasan di atas bermuara pada satu titik yang sama yaitu mengikuti perilaku lahiriah orang kafir itu terlarang. Meski penjelasan yang pertama itu lebih tepat.” (al Iqtidha’, hal. 8)
Allah berfirman yang artinya, “Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. ar-Ra’du [13]: 37)
Yang dimaksud dengan hawa nafsu mereka dalam ayat di atas adalah ahzab (kelompok orang kafir) yang mengingkari sebagian dari al-Qur’an. Sehingga termasuk dalam hal ini semua orang yang mengingkari sebagian dari al-Qur’an meskipun sedikit baik Yahudi, Nasrani ataupun yang lainnya.
Mengikuti orang kafir dalam hal yang merupakan ciri khas mereka baik terkait dengan agama mereka atau konsekuensi agama mereka adalah termasuk mengikuti hawa nafsu orang kafir. Bahkan karena hal yang lebih remeh lagi seorang bisa dinilai telah mengikuti hawa nafsu orang kafir.
Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hadid [57]: 16)
“Janganlah kalian seperti orang-orang yang…” dalam ayat di atas merupakan larangan mutlak untuk menyerupai orang-orang kafir ahli kitab. Larangan tersebut secara khusus merupakan larangan untuk menyerupai ahli kitab dalam masalah memiliki hati yang keras. Sedangkan hati yang keras merupakan buah dari berbagai bentuk maksiat.
Tentang ayat ini Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 4/310 mengatakan, “Oleh karena itu Allah melarang orang-orang yang beriman untuk tasyabbuh/menyerupai ahli kitab dalam hal-hal pokok ataupun hal-hal yang bersifat rincian meski hanya sedikit.”
Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah.” Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS al Baqarah [2]: 148)
Dalam kitab tafsirnya 1/148, Ibnu Katsir mengatakan, “Allah larang hamba-hambaNya yang beriman untuk tasyabbuh/menyerupai orang-orang kafir baik dalam perilaku ataupun dalam kata-kata. Orang-orang Yahudi memiliki perhatian untuk menggunakan kata-kata yang bermakna ganda namun yang mereka maksudkan adalah makna jelek yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Moga Allah melaknat mereka.
Jika mereka ingin mengatakan kepada Nabi, “Dengarkanlah kami” mereka menggunakan kalimat ‘Ro’inaa’ yang bisa bermakna ‘perhatikan kami’ dan bisa bermakna ‘dasar tolol’. Sedangkan sebenarnya makna kedualah yang mereka maksudkan, sebagaimana firman Allah QS an Nisa`[4]:46.
Demikian pula terdapat beberapa hadits yang menceritakan ulah mereka. Jika orang-orang Yahudi mengucapkan salam maka yang mereka ucapkan adalah ‘assamu ‘alaikum’ sedangkan makna assamu adalah kematian. Oleh karena itu kita diperintahkan untuk menjawab salam mereka dengan mengatakan ‘wa ‘alaikum’. Doa kitalah yang akan terkabul sedangkan doa mereka untuk kita tidak akan terkabul.
Ringkasnya Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang yang kafir baik dalam kata-kata maupun dalam tingkah laku.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Qotadah dan yang lainnya menjelaskan bahwa orang-orang Yahudi suka mengatakan ‘ro’inaa’ kepada Nabi dengan maksud mengejek. Oleh karenanya Allah tidak suka jika orang-orang yang beriman berkata-kata semisal kata-kata orang Yahudi. Qotadah juga mengatakan bahwa orang-orang Yahudi sering berkata kepada Nabi, ‘Ro-‘inaa sam’aka’ dengan tujuan mengejek Nabi karena kata-kata tersebut dalam bahasa Yahudi memiliki makna yang buruk.
Uraian di atas menjelaskan bahwa kaum muslimin dilarang mengucapkan kata-kata tersebut karena orang-orang Yahudi suka mengatakannya meski maksud orang Yahudi jelek sedangkan maksud kaum muslimin dengan kata-kata tersebut tidaklah demikian. Karena menyerupai orang-orang Yahudi dalam kata-kata tersebut berarti menyerupai orang-orang kafir dan melapangkan jalan bagi mereka untuk mewujudkan tujuan mereka.” (al Iqtidha’, hal. 22)
Jelaslah dari ayat-ayat di atas bahwa meninggalkan perilaku orang-orang kafir dan menyerupai mereka dalam perbuatan, perkataan dan hawa nafsu mereka termasuk tujuan dan target yang dicanangkan dan diajarkan oleh al-Qur’an. Nabi pun sudah menjelaskan dan merinci hal tersebut kepada umatnya bahkan mempraktekkannya dalam berbagai rincian syariat. Demikian seriusnya Nabi dalam hal ini sampai-sampai orang-orang Yahudi yang tinggal bersama beliau di kota Madinah merasakan dan mengetahui bahwa Nabi ingin menyelisihi mereka dalam semua ciri khas mereka.
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ } إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ فَبَلَغَ ذَلِكَ الْيَهُودَ فَقَالُوا مَا يُرِيدُ هَذَا الرَّجُلُ أَنْ يَدَعَ مِنْ أَمْرِنَا شَيْئًا إِلَّا خَالَفَنَا فِيهِ
“Dari Anas bin Malik, Di antara kebiasaan orang-orang Yahudi jika terdapat seorang perempuan yang dalam kondisi haid maka mereka tidak mau makan bareng bahkan tidak mau satu atap rumah dengan perempuan tersebut. Hal tersebut ditanyakan kepada Nabi lalu turunlah firman Allah yang artinya, “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh…” (QS. al Baqarah [2]: 222). Nabi lantas bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu asal bukan hubungan biologis.” Setelah sabda Nabi ini sampai ke telinga orang-orang Yahudi maka mereka berkomentar, “Orang ini hanya punya keinginan untuk menyelisihi semua perilaku kita.” (HR Muslim).” [Jilbab Mar’ah Muslimah, hal. 161-165].
***
Penulis: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
🔍 Keseimbangan Dunia Dan Akhirat, Riwayat Hidup Abu Bakar, Taufik Hidayah, Rasul Allah Artinya
Artikel asli: https://muslim.or.id/554-adab-berpakaian-5.html